DomaiNesia

Sabtu, 03 Juli 2021

Mengenang Laris Cinta Ki Manteb Sudharsono Yang Wafat Kena Serangan Corona

Pagelaran Wayang Kulit Semalam Suntuk untuk menyambut tahun gres digelar di TMII, Jakarta. Begini agresi dalang Ki Manteb Sudarsono.
Ki Manteb Sudharsono (Foto: Rengga Sancaya)

Karanganyar - Dalang kenamaan asal Karangpandan, Karanganyar, Jawa Tengah, Ki Manteb Sudharsono, meninggal dunia, Jumat (2/7) pagi. Ki Manteb dalam keadaan terpapar virus Corona atau COVID-19.

"Innalilahi wa inailaihi rajiun, sudah berpulang ke pangkuan dewa bapak H Manteb Sudharsono di hari Jumat pagi ini," ujar anak sulung Ki Manteb, Medhot S Sudharsono, ketika dijumpai detikcom di rumah duka, Desa Doplang, Kecamatan Karangpandan, Karanganyar, Jumat (2/7).

Medhot menyebut, Ki Manteb mulai sakit sepulang dari Jakarta, seminggu lalu. Setelah itu, keadaan Ki Manteb makin menurun.

Pihak keluarga sudah berupaya memamerkan penanganan medis. Termasuk melakukan tes swab pada Ki Manteb.

"Kita mengundang perawat dan dokter, sekitar 2 hari yang kemudian saya berupaya untuk swab untuk memutuskan keadaan bapak. Saya diutus oleh dia Bapak H Untung Wiyono, bupati sepuh (mantan bupati) Sragen, dia mengirim tenaga kesehatan untuk swab di sini hasilnya positif," terperinci Medhot.

Kondisi Ki Manteb Sudharsono, lanjutnya, sempat mengalami sesak napas. Hingga balasannya dalang legendaris ini meninggal.

"Tadi malam keadaan sesak napas, sekitar jam 1.30 WIB bisa wajar lagi. Jam 7 pagi tadi dia agak sesak napas lagi dan balasannya dia kapundhut (wafat)," ucap Medhot.

Ki Manteb lahir di Sukoharjo, 31 Agustus 1948, selaku sulung dari 6 bersaudara. Ayahnya, Ki Brahim Hardjowiyono, merupakan dalang wayang kulit asal Mojolaban, Sukoharjo, yang sungguh populer pada masanya.

Mewarisi tradisi dan darah seni dari keluarga, sejak kecil Ki Manteb rajin berbagi minat an bakatnya selaku dalang wayang kulit yang merupakan wujud kecintaannya pada dunia seni. Dia pernah beberapa tahun mencar ilmu pada dalang kenamaan Ki Nartosabdho di Semarang.

Namanya selaku dalang mulai dipahami luas dengan gaya sabet yang sungguh mumpuni dan hebat di kala 80-an. Ketrampilannya memainkan anak wayang yang mengagumkan, utamanya dalam adegan peperangan, hingga dia dijuluki 'dalang setan' sebab kecepatan memainkan wayang.

Humas ISI Surakarta, Esha Karwirnarno mengatakan, Ki Manteb Sudharsono merupakan sesepuh dalang gaya Surakarta. Nama Ki Manteb Soedharsono sudah menempel dalam balutan dinamika jagad pedalangan Indonesia hingga sekarang. Bahkan sosok Ki Manteb terbukti menjadi salah satu dalang yang dapat menyulam masa silam dan merajut masa depan kehidupan wayang Indonesia.

"Dalam alur historis jagad pedalangan Indonesia, Ki Manteb Soedharsono patut didudukkan selaku tokoh pembaharu. Di sini, Ki Manteb dibilang selaku dalang tenar yang sukses menghasilkan fenomena gres dengan mengeksploitasi gerak wayang. Tradisi pedalangan yang semula sungguh fenomenal di bidang catur, sudah diubah dengan bidang sabet wayang," paparnya.

Berpulangnya Ki Manteb Sudharsono meninggalkan sejarah laris panjang suka sedih usaha seorang pecinta. Salah satunya ketika sang maestro pedalangan itu mementaskan repertoar Ramayana cuma dalam waktu tiga menit untuk menenteng wayang diakui selaku warisan budaya dunia.

Dekan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Sugeng Nugroho, menuturkan Ki Manteb Sudharsono menjadi wakil dalang untuk tampil di hadapan juri UNESCO.

"Ketika wayang disarankan menjadi warisan budaya dunia, dia mengelola itu bareng Pak Begug Purnomosidi ke Paris. Beliau mewakili dalang Indonesia untuk penyajian pakeliran di depan juri UNESCO," kata Sugeng ketika dihubungi detikcom, Jumat (2/7).

Membawakan lakon 'Brubuh Alengka' dalam tiga menit, Ki Manteb dinilai tidak menetralisir esensi. Sugeng pun menilai Ki Manteb merupakan dalang dari luar kampus yang mengetahui rancangan pakeliran padat yang dicetuskan golongan akademisi di ASKI yang kini menjadi ISI Surakarta.

"Beliau sudah sungguh paham dengan pakeliran padat yang dahulu dicetuskan Pak Gendhon Humardani tahun 1980-an. Ki Manteb merupakan satu-satunya dalang nonakademis yang paham pakeliran padat. Saya anggap satu-satunya," ujarnya.

Sosok Ki Manteb Sudharsono diingat memiliki prinsip yang sarat pengabdian ketika ada seruan untuk mendalang. Bahkan ketika keadaan kesehatannya yang kurang fit, almarhum nekat mendalang hingga selesai.

"Pernah waktu itu nyewu (seribu hari meninggalnya) Pak Hadi Sugito (dalang asal Kulon Progo), Pak Manteb gerah (sakit) hingga muntah darah namun nekat wayangan," ujar Ketua Paguyuban Dhalang Surakarta (Padhasuka) KGPH Benowo ketika dihubungi detikcom, Jumat (2/7).

Ki Manteb Sudharsono juga pernah berucap akan tetap mendalang walaupun ada risiko yang mesti diterimanya. Semangat untuk mendalang seakan sudah menjadi panggilan cintanya pada dunia pewayangan dan pedalangan.

"Pokoknya selaku dalang, selaku seniman, kita mesti tetap berkarya apapun risikonya. Cara (istilah) kasarnya mati neng ngenggon dilakoni (cara kasarnya meninggal di kawasan dijalani)," kenangnya.

Kecintaan Ki Manteb Sudharsono pada seni pewayangan tetap dipegang teguh hingga tamat hayatnya. Pada detik tamat kehidupannya, Ki Manteb cuma meminta kepergiannya diiringi sosok wayang favoritnya, Werkudara.

"Bagas, anak angkat bapak, bilang ke saya bahwa kemarin, katanya nanti ada satu wayang Werkudara lawas, suruh mengirimkan bapak. Cuma itu saja," ujar anak sulung Ki Manteb Sudharsono, Medhot Sudharsono, ketika dijumpai detikcom di rumah sedih Dusun Sekiteran, Desa Doplang, Kecamatan Karangpandan, Karanganyar, Jumat (2/7).

Werkudara kesayangan Ki Manteb tersebut, lanjutnya, dahulu ditemukan dalam keadaan belum disungging atau diwarnai. Menurut dongeng Ki Manteb, wayang tersebut merupakan derma seorang mitra sesama dalang.

"Seingat saya, bapak pernah dongeng bahwa Werkudara itu dahulu bapak juga dikasih sama kawan dekat dalang. Waktu anak temannya itu khitanan, bapak disuruh mendalang," kenang Medhot.

"Bapak tidak dikasih apa-apa, ya dikasih Werkudara itu. Tapi masih keadaan belum disungging (dipoles warna). Akhirnya disungging terus dipakai hingga sekarang," kata dia.

Wayang dengan tokoh Werkudara tersebut, kata Medhot, memang bermakna khusus di hati Ki Manteb Sudharsono. Buktinya, di setiap pentas, wayah tersebut senantiasa jadi andalan dalang senior itu.

"Werkudara yang itu, memang setiap kali bapak pertunjukan niscaya senantiasa dipakai dalam keadaan pertunjukan apapun. Artinya pertunjukan biasa di kampung, pertunjukan yang istilahnya ritual, ruwatan juga dipakai," jelasnya.

Permintaan terakhir mendingan itu dikabulkan oleh keluarga. Saat diberangkatkan menuju pemakaman, wayang tersebut dibawa oleh salah satu petugas pemakaman ber-APD, mengiringi tuannya menuju peristirahatan terakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perkembangan Logo-Logo Tv Swasta Dari Tahun Ke Tahun

Masa 90an itu emang banyak kenangannya men. Membahas kala 90an emang mengasyikkan, tetapi juga mengharukan. Karena kita mengenang periode k...