DomaiNesia

Minggu, 04 Juli 2021

Menyelisik Sejarah Pembangunan Jalur Kereta Api Banjar-Cijulang

Jembatan Kereta Api Banjar-Cijulang
Bekas jembatan kereta api jalur Banjar-Cijulang. (Foto: Faizal Amiruddin/detikcom)

Pangandaran - Jejak peninggalan jalur kereta api (KA) Banjar-Cijulang dikala ini cuma menyisihkan jembatan dan terowongan. Itu pun relnya sudah hilang.

Namun, catatan sejarah pembangunan jalur KA sepanjang 82,16 kilometer itu masih menyimpan daya tarik, khususnya pembangunan jembatan dan terowongan. Itulah sebabnya pemerintah menegaskan jembatan dan terowongan itu selaku cagar budaya yang dilindungi hukum.

"Betul, jembatan dan terowongan KA Banjar-Cijulang sudah ditetapkan menjadi cagar budaya," kata Kepala Bidang Kebudayaan Disparbud Pangandaran Aceng Hasyim, Sabtu (3/7/2021).

Belum usang ini, Aceng menjelaskan, Balai Arkeologi, PT KAI dan pihak terkait yang lain mengerjakan penelitian. Dari acara itu terungkap hal-hal memukau dari proses pembangunan jalur kereta termahal di Indonesia tersebut.

"Dari makalah observasi yang disusun oleh Ir. Intrias Herlistiarto, dikenali Pemerintah Belanda menghabiskan budget f 9.583,421 gulden, padahal sebelumnya dijadwalkan f 5.064,000, gulden. Anggaran menjadi mahal lantaran banyak membangun jembatan dan terowongan," tutur Aceng.

Dia mengungkapkan dari total jarak 82,16 kilometer, 72 kilometer yakni lintasan datar, sementara sekitar 10 kilometer yakni menembus pegunungan. Total jembatan yang dibangun ada 54 unit dengan panjang total 1.520 meter.

Jembatan Kereta Api Banjar-Cijulang
Bekas jembatan kereta api jalur Banjar-Cijulang. (Foto: Faizal Amiruddin/detikcom)

Tapi yang sekarang dijadikan cagar budaya yakni tiga jembatan terpanjang. Masing-masing jembatan Cikacepit atau Cipamotan sepanjang 310 meter dengan kedalaman 38 meter, kedua jembatan Cipambokongan sepanjang 299 meter dengan kedalaman 40 meter, dan ketiga jembatan Cikabuyutan panjang 176 meter dengan kedalaman 34 meter.

Kemudian ada empat buah terowongan, yakni terowongan Philips di Batulawang Banjar sepanjang 281 meter, terowongan Hendrik di Kalipucang Pangandaran sepanjang 105 meter, terowongan Juliana di Kalipucang sepanjang 147 meter dan terowongan Wilhelmina di Kalipucang sepanjang 1.116 meter.

"Semua terowongan dinamai keluarga raja Belanda, kalau jembatan itu nama daerahnya. Sementara jumlah bangunan ada enam stasiun dan 16 halte," kata Aceng.

Menurut Aceng, selain mengkonsumsi ongkos besar, pembangunan empat terowongan dan tiga jembatan itu sempat diwarnai dinamika. Pada waktu itu terjadi perdebatan antara dilanjutkan menghasilkan jalur menembus pegunungan di Kalipucang atau dialihkan ke jalur lain. Dinamika itu sempat menghasilkan pembangunan tertunda pada tahun 1911 hingga 1913.

"Akhirnya pemerintah Belanda nekat menghasilkan jalur KA dengan menghasilkan terowongan menembus gunung dan menghasilkan jembatan untuk melintasi lembah," ucap Aceng.

Pada dikala pengolahan jembatan, Belanda menggunakan teknologi konstruksi paling canggih di zamannya. Bahkan hingga menghadirkan alat khusus dari Jerman.

"Mereka menghadirkan derek khusus dari Jerman untuk merangkai jembatan. Sementara bentangan bajanya pun didatangkan pribadi dari Belanda, lewat Cilacap melintasi penyeberangan Kalipucang," ujar Aceng.

Bentangan baja itu dirangkai dengan metode knock down di atas pondasi beton raksasa setinggi kisaran 40 meter. Sementara itu, pembangunan empat buah terowongan pun tak kalah luar biasa.

Jembatan Kereta Api Banjar-Cijulang

Terowongan ini jejak peninggalan jalur kereta api Banjar-Cijulang. (Foto: Faizal Amiruddin/detikcom)

Prinsip pembangunan terowongan KA ini ditangani lantaran keadaan yang tidak memungkinkan jika jalur KA dibentuk melingkar berbelok tajam atau menanjak mendaki gunung. Sehingga tiada cara lain selain menghasilkan terowongan.

"Penggalian terowongan ditangani manual dengan perlengkapan sederhana, tidak menggunakan materi peledak atau bor raksasa. Untuk menggali terowongan ini banyak warga setempat dan warga Cilacap yang dipekerjakan," kata Aceng.

Melubangi tiga gunung itu, tergolong terowongan Wilhelmina yang panjangnya 1.116 meter, perlu waktu sekitar 3 tahun. "Menurut sumber lokal, setelah beres menghasilkan terowongan itu dihelat pesta dengan pertunjukan ronggeng gunung," tuturnya.

Menurut Aceng, jembatan dan terowongan KA tersebut memiliki nilai sejarah yang sungguh tinggi dan menjadi pesona rekreasi edukasi. "Banyak bawah umur teknik sipil yang meneliti ke sana. Banyak pula yang malah meneliti hal-hal mistis di dalam terowongan," ucap Aceng.

Sementara itu, Haris, salah seorang polisi cagar budaya yang ikut penelitian, mengaku dikala di lapangan malah 'diserbu' warga. "Jadi dikiranya jalur KA ini akan diaktifkan kembali, warga banyak yang menyerbu kami membicarakan ganti rugi. Padahal kami sedang meneliti dari segi cagar budaya," ujar Haris.

Sepanjang jalur dari Banjar hingga ke Cijulang, dikala ini memang sudah banyak yang diduduki warga, bahkan dengan bangunan permanen. Sehingga tentang reaktivasi jalur KA tersebut dianggap berat dari segi pengaruh sosial. Selain dari mahalnya nilai investasi membangun kembali jalur KA tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Perkembangan Logo-Logo Tv Swasta Dari Tahun Ke Tahun

Masa 90an itu emang banyak kenangannya men. Membahas kala 90an emang mengasyikkan, tetapi juga mengharukan. Karena kita mengenang periode k...